Senin, 24 Januari 2011

Dari Imam al-Ghazali Dalam Menjelaskan Aqidah Rasulullah; Aqidah Ahlussunnah, Bahwa Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah

al-Imâm Abu Hamid Muhammad
ibn Muhammad al-Ghazali (w 505
H), nama yang sangat akrab
dengan kita, seorang teolog, sufi
besar, seorang yang ahli dalam
banyak disiplin ilmu. Dalam kitab
karyanya yang sangat agung;
Ihya ’ Ulumiddin, pada jilid
pertama menuliskan bab khusus
tentang penjelasan akidah
mayoritas umat Islam; akidah
Ahlussunnah, yaitu pada bagian
Qawa ’id al-Aqa’id. . Di antara
yang beliau tulis adalah sebagai
berikut:
تعالى )أى الله( عن أن يحويه
مكان كما تقدس عن أن يحده زمان،
بل كان قبل أن خلق الزمان
والمكان وهو الآن على ما عليه
كان )إحياء علوم الدين، كتاب
قواعد العقائد، الفصل الأول ج.1
ص. 108 )
“Allah Maha suci dari diliputi oleh
tempat, sebagaimana Dia maha
suci untuk dibatasi oleh waktu
dan zaman. Dia ada tanpa
permulaan, tanpa tempat, dan
tanpa zaman, dan Dia sekarang
(setelah menciptakan tempat dan
arah) ada seperti sediakala tanpa
tempat dan dan tanpa
arah ” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h.
108).
Pada bagian lain dari kitab
tersebut al-Imâm al-Ghazali
menuliskan:
“Pokok ke empat; Adalah
mengetahui bahwa Allah bukan
benda yang memiliki tempat. Dia
maha suci dari dibatasi oleh
tempat. Arguman atas ini adalah
bahwa setiap benda itu pasti
memiliki tempat, dengan demikian
ia membutuhkan kepada yang
mengkhususkannya dalam tempat
tersebut. Juga sesuatu yang
bertempat itu tidak lepas dari dua
keadaan; menetap pada
tempatnya tersebut atau bergerak
pindah dari satu tempat ke
tempat alinnya. Dan kedua sifat
ini jelas merupakan sifat-sifat dari
sesuatu yang baharu. Dan
sesuatu yang tidak lepas dari
kebaharuan maka berarti sesuatu
tersebut adalah sesuatu yang
baharu ” (Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 1, h.
127).
Masih dalam kitab Ihya’ al-Imâm
al-Ghazali juga menuliskan:
الأصل السابع: العلم بأن الله
تعالى منـزه الذات عن
الإختصاص بالجهات، فإن الجهة
إما فوق وإما أسفل وإما يمين وإما
شمال أو قدام أو خلف، وهذه الجهات
هو الذي خلقها وأحدثها بواسطة
خلق الإنسان إذ خلق له طرفين
أحدهما يعتمد على الأرض
ويسمى رجلا، والآخر يقابله
يسمى رأسا، فحدث اسم الفوق
لما يلي جهة الرأس واسم السفل
لما يلي جهة الرجل، حتى إن
النملة التي تدب منكسة
تحت السقف تنقلب جهة
الفوق في حقها تحتا وإن كان
في حقنا فوقا.
وخلق للإنسان يدين وإحداهما
أقوى من الأخرى في الغالب
فحدث اسم اليمين للأقوى
واسم الشمال لما يقابله،
وتسمى الجهة التي تلي
اليمين يمينا والأخرى شمالا،
وخلق له جانبين يبصر من
أحدهما ويتحرك إليه فحدث اسم
القدام للجهة التي يتقدم إليها
بالحركة واسم الخلف لما
يقابلها. )إحياء علوم الدين، ج.1،
ص. 128 )
“Pokok ke tujuh; adalah
berkeyakinan bahwa Dzat Allah
suci dari bertempat pada suatu
arah. Karena arah tidak lepas dari
salah satu yang enam; atas,
bawah, kanan, kiri, depan dan
belakang. Arah-arah tersebut
diciptakan oleh Allah denga jalan
penciptaan manusia. Allah
menciptakan manusia dengan
dua bagian; bagian yang megarah
ke bumi yaitu bagian kakinya, dan
bagian yang berlawanan
dengannya yaitu bagian
kepalanya. Dengan adanya
pembagian ini maka terjadilah
arah, bagian ke arah kakinya
disebut bawah dan bagian ke
arah kepalanya disebut atas.
Demikian pula seekor semut yang
merayap terbalik di atas langit-
langit rumah, walaupun dlaam
pandangan kita tubuhnya
terbalik, namun baginya arah
atasnya adalah bagian yang ke
arah kepalanya dan bagian
bawahnya adalah adalah bagian
yang ke arah bawahnya.
Pada manusia kemudian Allah
menciptakan dua tangan, yang
pada umumnya salah satunya
memiliki kekuatan lebih atas
lainnya. Maka terjadilah
penamaan bagi tangan yang
memiliki kekuatan lebih sebagai
tangan kanan. Sementara tangan
bagian lainnya yang yang
berlawanan dengannya disebut
dengan tangan kiri. Juga Allah
menciptakan bagi manusia
tersebut dua bagian bagi arah
badanya; bagian yang ia lihat dan
ia tuju dengan bergerak
kepadanya, dan bagian yang
berada pada sebaliknya. Bagian
yang pertama disebut arah depan
semantara yang bagian sebaliknya
disebut dengan arah
belakang ” (Ihya 'Ulumiddin, j. 1,
h. 128).
Kemudian al-Imâm al-Ghazali
menuliskan:
فكيف كان في الأزل مختصا
بجهة والجهة حادثة؟ أو كيف
صار مختصا بجهة بعد أن لم
يكن له؟ أبأن خلق العالم فوقه
ويتعالى عن أن يكون له فوق إذ
تعالى أن يكون له رأس، والفوق
عبارة عما يكون جهة الرأس، أو
خلق العالم تحته فتعالى عن
أن يكون له تحت إذ تعالى عن
أن يكون له رجل والتحت عبارة
عما يلي جهة الرجل، وكل ذلك مما
يستحيل في العقل )إحياء
علوم الدين، ج.1، ص. 128 )
“Dengan demikian bagaimana
mungkin Allah Yang ada tanpa
permulaan (azaly) memiliki
tempat dan arah, sementara
tempat dan arah itu sendiri
baharu?! Bagaimana mungkin
Allah yang ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat lalu kemudian
berubah menjadi berada pada
tempat tersebut?! Apakah Allah
menciptakan alam yang alam
tersebut berada di arah atas-ya?!
Sesesungguhnya Allah maha suci
dari dikatakan “arah atas” bagi-
Nya. Karena bila dikatakan “arah
atas” bagi Allah maka berarti Dia
memiliki kepala. Karena
sesungguhnya penyebutan “arah
atas” hanya berlaku bagi sesuatu
yang memiliki kepala. Demikian
pula Allah maha suci dari
dikatakan “arah bawah” bagi-
Nya. Karena bila dikatakan arah
bawah bagi Allah maka berarti
Dia memiliki kaki. Karena
sesungguhnya penyebutan arah
bawah hanya berlaku bagi
sesuatu yang memiliki kaki. Hal itu
semua secara akal adalah sesuatu
yang mustahil atas Allah ” (Ihya'
'Ulumiddin, j. 1, h. 128).
Dalam kitab al-Arba’in fi
Ushuliddin, al-Imam al-Ghazali
menuliskan:
وأنه لا يحل في شىء ولا يحل
فيه شىء، تعالى عن أن يحويه
مكان كما تقدس عن أن يحده زمان،
بل كان قبل أن خلق الزمان
والمكان وهو الآن على ما عليه
كان )الأربعين في أصول الدين،
ص 8 )
“... dan bahwa Allah tidak
bertempat di dalam sesuatu, dan
tidak ada sesuatu apapun yang
bertempat pada-Nya. Allah maha
suci dari diliputi oleh tempat,
sebagaimana Dia maha suci dari
dibatasi oleh waktu/zaman. Dia
Allah ada sebelum terciptanya
waktu dan tempat, dan Dia
sekarang (setelah menciptakan
tempat dan waktu) ada
sebagaimana pada sifat-Nya azaly;
tanpa tempat dan tidak terikat
oleh waktu”. (al-Arba’in Fi
Ushuliddin, h. 8)
KESIMPULAN: Akidah Rasulullah,
para sahabat, dan kaum Salaf
saleh, serta keyakinan mayoritas
umat Islam; Ahlussunnah Wal
Jama ’ah ialah “ALLAH ADA
TANPA TEMPAT DAN TANPA
ARAH ”.
Sangat tidak masuk akal, atau
tepatnya kita katakan “tidak
berakal”, bila ada orang yang
berkeyakinan bahwa Allah berada
di langit atau di di arsy, seperti
keyakinan orang-orang
Wahhabiyah di masa sekarang.
Bagaimana mereka berkeyakinan
Allah berada di langit?! Juga
berkeyakinan Allah berada di
arsy?! Di dua tempat heh..?!
Padahal mereka yakin bahwa
langit dan arsy adalah makhluk
Allah. Itu artinya dalam keyakinan
mereka Allah bertempat pada
makhluk-Nya sendiri. A’udzu
Billah al-‘Alyy al-‘Azhim.
Fa al-Wahhabiyyah Yadlhak
Alayhim as-Sufaha ’ Qabl
al-‘Uqala’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar